kajian zat aditif menurut islam

MAKALAH FIQIH
ZAT ADITIF
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Fiqih
Dosen Pengampu Abdul Rozaq






















UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang maha kuasa karena atas limpahan rahmatnya kami dapat menyusun makalah ini. Tidak lupa shalawat serta salam atas junjungan kita nabi besar muhammad SAW. karena atas jasanya kita dapat keluar dar zaman kegelapan serta kejahiliahan dan juga ucapan terima kasih kepada dosen pembimbing bapak abdul rozak yang senantiasa membimbing kami agar dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu.
Makalah ini berisi tentang zat aditif dan kaitannya dengan fiqih yaitu mengenai kehalalan zat tersebut untuk dikonsumsi mengigat maraknya penggunaan zat tersebut saat ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca. Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari pembaca kami harapkan.















Malang, 14 september 2015


                                                                                          Penulis
DAFTAR ISI



KATA PENGANTAR........................................................................................   ii
DAFTAR ISI......................................................................................................   iii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................   1
1.1 Latar Belakang....................................................................................   1
1.2 Rumusan Masalah...............................................................................   2
1.3 Manfaat...............................................................................................   2
BAB II PEMBAHASAN....................................................................................   3
2.1 Pengertian Zat Aditif..........................................................................   3
2.2 Manfaat Dan Bahaya Zat Aditif.........................................................   5
2.3 Pendapat Ulama Mengenai Kehalalan Zat Aditif...............................   6
2.4 kehalalan zat aditif selain pada makanan...........................................  10
BAB III PENUTUP............................................................................................  11
3.1 Simpulan............................................................................................   11
3.2 Saran..................................................................................................   11
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................   12

 BAB I
PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Industri pada era 20-an mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hampir dalam semua bidang menggunakan teknologi  yang canggih. Bahan yang dipakai dalam industripun mengalami perubahan sehingga lebih efektif dan efisien, seperti pada industri makanan dan minuman, dimana saat ini banyak makanan yang menggunakan bahan-bahan tambahan atau yang lebih dikenal dengan zat aditif. Zat aditif adalah bahan yang ditambahkan dan dicampurkan sewaktu pengolahan makanan untuk meningkatkan mutu.[1] Berbagai contoh dari zat ini adalah zat pewarna pemanis pengawet dan penyedap. Zat aditif selain menghasilkan produk yang bagus juga lebih mudah dipakai sehingga zat ini digunakan hampir dalam semua produk makanan mulai dari makanan produk pabrik sampai pedagang kaki lima. Selain menguntungkan dari segi efisiensi zat ini juga lebih murah daripada menggunakan bahan-bahan yang alami. Dibalik semua keuntungan yang didapat tersebut zat adiitf juga memiliki beberapa kerugian terutama dari segi kesehatan. Zat aditif ditengarai sebagai salah satu zat yang menimbulkan berbagai penyakit terutama kanker.
Islam adalah agama yang rahmatan lil alamin. Islam tidak hanya mengatur bagaimana cara seseorang beribadah kepada Allah SWT tetapi juga mengatur segala aspek kehidupan sehingga umat islam akan memiliki kehidupan yang teratur karena adanya pedoman dari tersebut, tidak terkecuali dalam bidang makanan. Islam menganjurkan umatnya memakan makanan yang halal lagi baik dan melarang memakan makanan yang haram. Berdasarkan sudut pandang islam makanan yang haram pasti memiliki berbagai madharat yang membahayakan bagi yang mengonsumsinya, dan makanan yang halal adalah makanan yang baik dan aman untuk dikonsumsi.
zat aditif belum ada pada masa nabi Muhammad SAW, dan baru populer di era 20-an ini, lalu bagaimana islam memandang zat aditif tersebut? Apakah zat tersebut boleh dikonsumsi atau haram untuk dikonsumsi? Sebagai seorang civitas akademik kita dianjurkan untuk menggunakan akal kita dalam menyelesaikan berbagai masalah terutama masalah yang melibatkan maslahat umat islam. Hal ini sesuai dengan firman Allah:

وَمَاكَانَ لِنَفْسِ أَنْ تُؤْمِنُ إِلَّا بِإِذْنِ الله ج  وَيَجْعَلُ الرخس على الذين لايعقلون
"Artinya : Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah, dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya (Q.S. Yunus: 100)"
Oleh karena itu kami akan membahas mengenai zat aditif dan sudut pandang islam terhadap zat aditif tersebut. Semoga penjelasan dalam makalah ini bermanfaat bagi umat islam.

1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah ini adalah:
1.2.1 apakah pengertian, unsur-unsur dan proses pembuatan zat aditif ?
1.2.2 apakah manfaat dan bahaya zat aditif ?
1.2.3 bagaimanakah hukum memakan makanan atau minuman yang mengandung zat aditif ?
1.2.3.4 bagaimanakah hukum zat aditif selain pada makanan ?

1.3 Manfaat
Manfaat yang didapat dari penulisan makalah ini adalah:
1.3.1 mengetahui pengertian, unsur-unsur dan proses pembuatan zat aditif.
1.3.2 mengetahui manfaat dan bahaya zat aditif.
1.3.3 mengetahui hukum memakan makanan atau minuman yang mengandung zat aditif ?
1.3.4 mengetahui hukum zat aditif selain pada makanan.




BAB II
PEMBAHASAN

2.1 pengertian zat aditif
Zat aditif menurut peraturan menteri kesehatan R.I No. 329/Menkes/PER/XII/76, adalah bahan yang ditambahkan dan dicampurkan sewaktu pengolahan untuk meningkatkan mutu. Zat aditif yang umum digunakan saat ini adalah zat pengawet, zat pewarna, zat pemanis dan bahan penyedap. Berikut adalah penjelasan tentang definisi, unsur-unsur dan proses pembuatan berbagai zat aditif yang umum digunakan saat ini.

2.1.1  Bahan Pengawet
            Bahan pengawet umumnya digunakan untuk mengawetkan pangan yang mempunyai sifat mudah rusak bahan ini menghambat atau memperlambat proses fermentasi, pengasaman, atau penguraian yang disebabkan oleh mikroba. Bahan pengawet untuk bahan pangan umumnya adalah benzoat seperti natrium benzoat atau kalium benzoat yang bersifat mudah larut.[2]
Natrium benzoat adalah garam sodium dari asam benzoat dan ada dalam bentuk garam ketika dilarutkan dalam air. Hal ini dapat diproduksi dengan mereaksikan sodium hidroksida dengan asam benzoat. Pengawet ini banyak dijual dipasaran dan digunakan untuk mengawetkan barbagai bahan makanan Benzoat sering digunakan untuk mengawetkan berbagai pangan dan minuman seperti sari buah, minuman ringan, saus tomat, saus sambal, selai, jeli, manisan, kecap dan lain-lain. Rumus kimia natrium benzoat yaitu C6H5COONa.[3]
2.1.2  Bahan Pewarna
            Pewarna makanan adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki warna makanan yang berubah atau menjadi pucat selama proses pengolahan atau untuk memberi warna pada makanan yang tidak berwarna agar terlihat lebih menarik. Beberapa zat pewarna yang banyak digunakan dalam makanan adalah amaran, biru berlian, eritrosin, hijau FCF, hijau S, indigotin, dan tartrazin. Proses pembuatan zat pewarna sintetis biasanya melalui perlakuan pemberian asam sulfat atau asam nitrat yang sering kali terkontaminasi oleh arsen atau logam berat lain yang bersifat racun. Pada pembuatan zat pewarna organik sebelum mencapai produk akhir harus melalui senyawa perantara dahulu yang kadang-kadang berbahaya dan sering kali tertinggal atau terbentuk senyawa senyawa baru yang berbahaya untuk zat warna yang dianggap aman ditetapkan bahwa kandungan arsen tidak boleh lebih dari 0.0004% dan timbal tidak boleh lebih dari 0.0001% sedangkan logam berat lainnya tidak boleh ada.[4]

2.1.3 Bahan Pemanis
Zat pemanis adalah zat yang dapat menimbulkan rasa manis atau dapat mempertajam penerimaan terhadap rasa manis tersebut sedangkan kalori yang dihasilkannya jauh lebih rendah dari pada gula. Beberapa zat pemanis sintetis pada makanan yaitu sakarin, siklamat, aspartam, sorbitol, dan dulsin. Sakarin merupakan pewarna dengan rumus molekul C7H5NO3S, sakarin merupakan senyawa yang diperoleh dengan mensintetis toluen dan biasanya berupa garam natrium. Siklamat memiliki rumus molekul C6H11NHSO3Na dan juga berupa garam natrium. Aspartam dengan rumus C14H6N2O5 merupakan senyawa yang ditemukan dengan tidak sengaja ketika melakukan sintetis obat-obat untuk bisul dan borok. Sorbitol diperoleh dengan hidrogenasi dalam tekanan tinggi maupun reduksi elektrolit. [5]
2.1.4 Penyedap Rasa
Berdasarkan peraturan menteri kesehatan RI No. 722/Menkes/Per/IX/88 tentang bahan tambahan pangan, penyedap rasa dan aroma, dan penguat rasa didefinisikan sebagai bahan tambahan pangan yang dapat memberikan, menambah atau mempertegas rasa dan aroma. Bahan penyedap ada yang berasal dari bahan alami, seperti bambu, herba, daun minyak esensial, ekstrak tanaman atau hewan dan oleoserin. Namun saat ini bahan penyedap sintesis yang merupakan komponen atau zat yang menyerupai penyedap alami. Contoh dari penyedap rasa sintetis adalah MSG atau monosodium glutamat. Bahan ini terdapat dalam makanan yang memiliki kadar protein tinggi seperti tepung gandum, kedelai dan jagung. Pemisahan asam glutamat dapat dilakukan dengan hidrolisi menggunakan asam klorida sampai pH 3,2, selanjutnya dilakukan netralisasi dengan penambahan natrium hidroksida atau natrium karbonat, dekolonisasi dan kristalisasi. Hasilnya merupakan garam mononatrium/ sodium glutamat.[6]

2.2 Manfaat dan Bahaya Zat Aditif
Bahan pengawet bermanfaat untuk memperpanjang umur simpan pangan, membunuh mikroba baik mikroba patogen yang berbahaya bagi kesehatan atau mikroba nonpatogen yang tidak berbahaya tetapi menyebabkan kerusakan bahan makanan, tidak menurunkan kualitas makanan yang diawetkan. Bahan pengawet selain bermanfaat juga berbahaya bagi kesehatan seperti menyebabkan kanker, menyebabkan gangguan pada sistem genetik, menghambat sintesa dinding sel atau membran, menghambat enzim, peningkatan nutrisi esensial. Pengkonsumsian natrium benzoat secara berlebihan dapat menyebabkan keram perut, rasa kebas dimulut bagi orang yang lelah. Pengawet ini memperburuk keadaan juga bersifat akumulatif yang dapat menimbulkan penyakit kanker dalam jangka waktu panjang dan ada juga laporan yang menunjukkan bahwa pengawet ini dapat merusak sistem syaraf. Riset yang dilakukan oleh Sheffield University di Inggris terhadap bahan pengawet makanan dan minuman yang umum digunakan, menyatakan bahwa sodium benzoate diperkirakan dapat merusak DNA.[7]
Bahan pemanis memiliki manfaat sebagai pemanis buatan khususnya untuk penderita diabetes melitus karena tidak menimbulkan kelebihan gula darah, memenuhi kebutuhan kalori rendah untuk penderita kegemukan, sebagai penyalit obat atau pemberi rasa pada obat yang memiliki rasa tidak enak, menghindari kerusakan gigi, dan untuk menekan biaya produksi di pabrik-pabrik makanan, minuman dan rokok. Menurut peraturan menteri kesehatan bahan pemanis tidak mengandung gizi sama sekali dan bahan yang diperbolehkan adalah sakarin siklamat, aspartam, dan sorbitol.[8] Sakarin dipercaya sebagai penyebab kanker atau karsinogenik, siklamat dianggap sebagai pemicu tumor, penecilan testikular dan kerusakan kromosom, sedang aspartam tidak berbahaya tetapi kandungan fenilalanin dapat menyebabkan kecacatan mental pada penderita fenilketourea.
Zat pewarna akan dimetabolisme dan dikonjugasi di dalam hati dan kemudian menuju ke kantong empedu memasuki jalur sirkulasi enteropatik.[9] Dr Kinosita telah meneliti bahwa zat pewarna mengakibatkan adanya tumor hati dan karsinogenik pada tubuh hewan percobaan meskipun dengan dosis kecil.
Penyedap rasa memiliki manfaat sebagai penguat, modifikasi dan pelengkap rasa, menyembunyikan dan menutupi aroma bahan pangan yang tidak disukai, membentuk aroma baru atau menetralisis bila bergabung dengan komponen dalam bahan pangan.[10] Penyedap rasa mengakibatkan suatu peenyakit yang disebut sebagai CRS (chinese restaurant syndrom) dan juga menyebabkan kerusakan sel saraf.

2.3 Pendapat Ulama Mengenai kehalalan Zat Aditif
Ulama islam dalam memutuskan suatu hukum atau fatwa menggunakan kaidah fiqih termasuk dalam perihal kehalalan dan keharaman makanan. Berdasarkan kaidah:[11]
الأصل في الأشياء الإباحة   
Asal segala sesuatu itu boleh
Kaidah diatas adalah kaidah fiqih yang sangat penting untuk diketahui. Kebolehan yang dimaksud pada kaidah diatas dikhususkan untuk sesuatu yang sifatnya non ibadah, seperti makanan, minuman, muamalah, dan adat. Karena untuk urusan ibadah ritual punya kaidanya sendiri yang berlawanan dengan kaidah diatas. Kaidah tentang ritual ibadah menurut Imam Ahmad (w. 241) dan ulama ahli hadits lainnya, seperti yang nukil oleh Imam Ibnu Taimiyah (w. 728) dalam kitabnya Al-Fatawa Al-Kubro jilid 4, hal. 13:
أن الأصل في العبادات التوقيف
“Asal dari segala ibadah itu sifatnya tauqif (perintah Allah)”
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi mengungkapkan dari dua kaidah ini setidaknya bisa disimpulkan agar tidak beribadah kecuali dengan apa yang sudah disyariatkan oleh Allah, dan tidak mengharamkan selainnya kecuali apa yang sudah Allah haramkan. Imam As-Suyuthy (w. 911) dalam kitabnya Al-Asybah wa An-Nazhair hal. 60 menjelaskan bahwa kebolehan tersebut didasarkan pada banyak dalil, seperti hadits Rasulullah SAW berikut.[12]
مَا أَحَلَّ اللَّهُ فَهُوَ حَلَالٌ وَمَا حَرَّمَ فَهُوَ حَرَامٌ وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ، فَاقْبَلُوا مِنْ اللَّهِ عَافِيَتَهُ فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُنْ لِيَنْسَى شَيْئًا
“Apa yang Allah halalkan maka ia halal (hukumnya) dan apa yang Allah haramkan maka ia haram (hukumnya) dan apa yang Allah diamkan maka ia dimaafkan, maka terimalah maafNya karena Allah tidak pernah melupakan sesuatu apapun” (HR. Al-Bazzar dan Thabroni)

وَرَوَى الطَّبَرَانِيُّ أَيْضًا مِنْ حَدِيثِ أَبِي ثَعْلَبَةَ «إنَّ اللَّهَ فَرَضَ فَرَائِضَ فَلَا تُضَيِّعُوهَا، وَنَهَى عَنْ أَشْيَاءَ فَلَا تَنْتَهِكُوهَا، وَحَدَّ حُدُودًا فَلَا تَعْتَدُوهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ مِنْ غَيْرِ نِسْيَانٍ، فَلَا تَبْحَثُوا عَنْهَا
“Sesungguhnya Allah sudah mewajibkan perkara yang wajib maka janganlah kalian menghilangkannya, dan Allah sudah melarang sesuatu maka janganlah kalian melanggarnya, dan Allah mendiamkan sesuatu bukan karena lupa karenanya janganlah kalian sibuk mencari-cari (hukumnya)” (HR. Thabroni)

وَرَوَى التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ مَاجَهْ مِنْ حَدِيثِ سَلْمَانَ: " أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ عَنْ الْجُبْنِ وَالسَّمْنِ وَالْفِرَاءِ فَقَالَ: «الْحَلَالُ مَا أَحَلَّ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَالْحَرَامُ مَا حَرَّمَ اللَّهُ فِي كِتَابِهِ، وَمَا سَكَتَ عَنْهُ فَهُوَ مِمَّا عَفَا عَنْهُ»
“(Sesuatu) yang halal itu adalah apa yang sudah Allah halalkan dalam kiabNya, dan (sesuatu) yang haram itu adalah apa yang sudah Allah haramkan dalam kitabNya, dan apa yang Allah diamkan maka itu bagian yang sudah dimaafkan” (HR. Turmudzi)
Wilayah halal jauh lebih luas daripada wilayah haram, inilah salah satu rahmat Allah kepada maklukhnya. Bumi diciptakan oleh Allah untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia, oleh karena itu di bumi diciptakan makanan halal yang lebih banyak daripada makanan yang diharamkan.[13]
Allah berfirman:
وَسَخَّرَ لَكُمْ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا مِنْهُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ
“dan Dia telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir” (Al-Jatsiyah: 13)
Aturan umum mengenai masalah makanan hanya sedikit dan umum sekali, seperti untuk makanan non hewani yaitu tidak terkena najis, tidak memabukkan, dan tidak membawa madharat, maka sudah boleh dimakan. Sedangkan aturan untuk hewan yang halal yaitu bukan babi, anjing, bangkai, hewan buas, hewan dua alam, hewan yang memakan kotoran, hewan yang diperintah untuk dibunuh, dan tidak dibunuh. Tetapi  syarat dari kehalalan harus melalui proses penyembelihan terlebih dahulu.
Mengenai batasan-batasan makanan halal dan haram pun masih banyak yang diperselisihkan oleh ulama, artinya batasan tersebut masih bisa didiskusikan, dan tidak mengikat secara pasti, ini membuktikan bahwa sebenarnya wilayah halal itu sangat luas.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
“Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS. al-Baqarah: 168).
Berdasarkan ayat diatas dan ayat-ayat lainnya Allah memerintahkan kepada kita agar memakan makanan yang halal, karena itulah jumlah makanan yang halal lebih banyak daripada makanan yang haram. Berdasarkan aturan Allah tidak ada pilihan selain memakan makanan yang halal, kecuali dalam kondisi darurat maka diperbolehkan mengkonsumsi makanan haram tetapi hal inipun dibatasi. Pada zaman dahulu tidak sulit untuk menilai kehalalan suatu makanan karena jenis makanan yang tidak beragam dan masih jarang produk-produk pencampuran makanan dan jika ada sifatnya masih alami. Tetapi pada masa sekarang banyak produk makanan yang mengandung bahan kimia dan dengan proses kimiawi yang belum ada pada masa dahulu. Hal inilah yang menjadi perdebatan apakah makanan tersebut halal atau tidak. 
Zat Aditif adalah bahan tambahan makanan yang ditambahkan dengan sengaja kedalam makanan. Bahan tambahan makanan tersebut ada dua jenis, ada yang alami dan ada yang sifatnya buatan. Untuk yang pertama sudah dikenal dari dulu dan dapat dipastikan kehalalannya, namun untuk yang kedua baru dikenal pada era industri seiring perkembangan teknologi di dunia. Kenyataanya zat-zat tersebut tidak semuanya halal secara mutlak, ada banyak zat yang statusnya diragukan kehalalannya atau bahkan tidak halal. Kebanyakan zat aditif dengan kode E diragukan kehalalannya, seperti pada zat aditif dibawah ini.[14]
  1. Potasium nitrat (E252)
  2. L-asam tartarat (E334)
  3. Turunan asam tartarat E335, E336, E337, E353 (dari E334)
  4. Gliserol/gliserin (E422)
  5. Asam lemak dan turunannya, E430, E431, E433, E434, E435, E436
  6. Pengemulsi yang dibuat dari gliserol dan/atau asam lemak (E470 – E495)
  7. Edible bone phosphate (E542)
  8. Asam stearat
  9. L-sistein E920
  10. Wine vinegar dan malt vinegar
Contohnya L-asam tartarat, bahan tersebut dibuat dari hasil samping wine, selain itu zat aditif dengan kode E juga dibuat dari limbah hewani ada juga yang dibuat dari bulu unggas maupun bulu manusia. oleh karena itu termasuk zat aditif yang haram dikonsumsi.
Zat aditif halal digunakan selain pada makanan karena zat tersebut tidak langsung dikonsumsi oleh manusia. Karakteristik halal dan haram biasanya digunakan kepada manusia, jika barang itu membuat mudhorot kepada manusia  maka sifatnya menjadi haram. Zat aditif selain pada makanan contohnya parfume, pakaian yang berpewarna tekstil dll.
Zat aditif ada yang diperbolehkan untuk dikonsumsi dan ada yang tidak diperbolehkan karena selain membahayakan bahan yang digunakan untuk membuat zat aditif tersebut tidak halal. Selain untuk dikonsumsi, zat aditif bisa digunakan untuk membuat barang-barang yang tidak dikonsumsi. Jadi zat aditif boleh diperbolehkan selama tidah mengundang kerugian pada manusia.












BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Zat aditif ada yang diperbolehkan untuk dikonsumsi dan ada yang tidak diperbolehkan karena selain membahayakan bahan yang digunakan untuk membuat zat aditif tersebut tidak halal. Selain untuk dikonsumsi zat aditif ditambahkan kedalam barang-barang yang tidak untuk dikonsumsi. Menurut buku ensiklopedia halal haram telah dielaskan bahwa segala yang buruk adalah haram dan segala yang baik adalah haram. Jika tidak membahayakan namun tidak ada manfaat dan dimanfaatkan karena terpaksa maka kembali ke hukum asal yaitu boleh, jika mengandung bahaya maka hukumnya makruh dan jika mengandung bahaya besar maka hukumnya haram.

3.2 Saran
            Semoga dengan uraian yang telah diberikan pembaca dapat memahami konsep halal dan haram seta lebih waspada dalam perihal mengkonsumsi makanan. Karena makanan adalah sumber energi manusia baik untuk menjalankan ibadah juga untuk menjalankan kehidupan sehari-hari, sebab itulah kita perlu menjaga pola makan kita agar ibadah yang kita lakukan dapat diterima disisi Allah dan agar kita dapat menjalankan ibadah sesuai dengan tuntutan syariat islam.







DAFTAR PUSTAKA

Cahyadi, wisnu. 2009. Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: bumi aksara.
Cornelius, B. 1984. Analisa Zat Warna Yang Digunakan Untuk Makanan Didaerah Bandung. Bandung : ITB.
Direktorat survey dan penyuluhan keamanan. 2006.  Pemanfaatan Zat Aditif Secara Tepat.
Dzajuli. 2006. Kaidah-Kaidah Fiqh. Jakarta: Kencana Perdana Media Group.
Musa, Kamil. 2006. Ensiklopedia Halal Haram Dalam Makanan Dan Minuman, Surakarta: Ziyad Visi Media.
Najihah, 2010. Penggunaan Zat Pewarna Sintesis Sebagai Bahan Pewarna Makanan Perspektif Islam. Yokyakarta : uin sunan kalijaga.
Peraturan menteri kesehatan RI No. 722/Menkes/per/IX/1998. Bahan Tambahan Pangan.
Shuyuti, Imam as. 2003. Al-Asybah wa An-Nazhair..bandung: Diponegoro.
Trenggono, 1998. Bahan Tambahan Pangan. Yogyakarta: Pusat Antar Universitas Pangan Dan Gizi.
Winarto. 2004. Kimia Pangan Dan Gizi. Jakarta : Gramedia: Pustaka utama.



[1] Winarto.kimia pangan dan gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka utama. 2004. Hal 214.
[2] Wisnu cahyadi, bahan tambahan pangan. Jakarta: bumi aksara. 2009. Hal 5.
[3] Suwarno, op cit, hal 224.
[4] Cahyadi wisnu, op cit. Hal 61.
[5] Cahyadi wisnu, ibid. Hal 84.
[6] Cahyadi wisnu, op cit. Hal 102.
[7] Trenggono, bahan tambahan pangan, yogyakartan: pusat antar universitas pangan dan gizi,1998, hal 20.
[8] Peraturan menteri kesehatan RI No. 722/Menkes/per/IX/1998. Bahan Tambahan Pangan
[9] Cornelius, B. Analisa zat warna yang digunakan untuk makanan didaerah bandung. Bandung : ITB. 1984. Hal 72.
[10] Wisnu cahyadi, op cit, hal 103.
[11] Dzajuli, kaidah-kaidah fiqh. Jakarta: kencana perdana media group. 2006. Hal 20.
[12] Imam as shuyuti, Al-Asybah wa An-Nazhair..bandung: diponegoro. 2003. hal. 60
[13] Najihah, penggunaan zat pewarna sintesis sebagai bahan pewarna makanan perspektif islam. Yokyakarta : uin sunan kalijaga. 2010. Hal 8.
[14] Direktorat survey dan penyuluhan keamanan, pemanfaatan zat aditif secara tepat. 2006.

Komentar